Sabtu, 01 Desember 2012

TUGAS KE-3 SOFTSKILL 2IA18


THE LANGUAGE OF NEW MEDIA

Assalammu’alaikum Wr.Wb.
Untuk menyelesaikan tugas Softskill yang diberikan oleh Bapak Raden Supriyanto selaku Dosen Pengantar Teknologi Internet dan New Media dan tugas yang diberikan kali ini tentang New Media maka, dalam tulisan saya kali ini, saya telah merangkum sebuah buku berjudul NEW MEDIA A CRITICAL INTRODUCTION dari modul yang telah diberikan sebelumnya.

I.PENDAHULUAN

A.New Media & Mass Communication

New media dianggap telah membawa banyak perubahan bagi masyrakat. Masih terlalu dini untuk memprediksi bagaimana perubahan ini akan berjalan, namun penting untuk melihat fenomena ini dari awal guna mengantisipasi perubahan dan melihat implikasi yang ada. New media sebagai sebuah medium komunikasi juga dianggap membawa nilai sosial yang mampu berinteraksi dengan perkembangan ini.
B.What is new about new media?

New media berawal dari perkembangan information & communication technology (ICT) yang bermula dari proses digitalisasi. Proses ini tak hanya berpengaruh pada proses kreasi, namun pada penyimpanan dan distribusi pesan.
Berbicara mengenai fitur sebuah media, internet—sebagai sebuah media—telah menyimpang dalam beberapa hal, diantaranya, internet bukan hanya alat produksi dan distribusi pesan, namun juga penyimpanan. Kedua, dengan berkembangnya internet maka proses pengaturan informasi melalui media massa tak lagi melalui proses hirarki sebagaimana terjadi pada traditional media. New media juga dianggap, oleh beberapa pihak, mampu membuat sebuah perbincangan umum menjadi sebuah perbincangan personal dengan aturan-aturan yang personal juga.
Tak terpaku pada proses, perbedaan ini juga terjadi dalam hubungannya dengan audience, publisher, dan authors. Di dunia maya, saat ini audience memiliki kemampuan sebagai editor, sementara bagi publisher, new media membuka peluang untuk adanya alternatif dalam proses publishing ini. Untuk para authors, new media membuka peluang untuk meningkatkan “kredit” bagi para authors. Saat ini semua orang dapat menjadi authors, semua orang dapat menulis blog dan mengunggah hasil karyanya.
Livingstone (1999) mengisyaratkan bahwa new media adalah perkembangan dari old media bukan pengganti. Lievrouw (2004) juga berpendapat bahwa lama kelamaan new media ini akan menjadi hal yang biasa (Technology Determinism, McLuhan, 1962). Senada dengan Lievrouw, Herning (2004) juga menyatakan, “computer-mediated communication is slouching towards ordinary”.

C.The Main Themes of New Media Theory

Media massa menitikberatkan pada 4 fokus utama, yakni: 1) keuasaaan dan ketidaksetaraan, 2) integrasi sosial dan identitas. 3) perubahan sosial dan perkembangan. Serta 4) jarak dan waktu. Dari keempat concern utama tersebut, teori lama yang sudah ada tidak cocok lagi untuk digunakan.
Rasmussen (2000) menyatakan bahwa new media mempunyai efek yang berbeda—secara kualitatif—dalam integrasi sosial di masyrakat modern. Dalam hubungannya dengan potensial untul perubahan sosial, potensi new media sebagai sarana perubahan sosial dan ekonomi masih membutuhkan kajian lebih lanjut. Awalnya ada sebuah perbedaan besar antara media massa yang mampu diaplikasikan pada perkembangan sosial dengan new media yang open-ended dan non purposive.
Teknologi baru meliberalkan kita dari banyak halangan walaupun masih menghadapi tantangan pada konteks sosial dan budaya. Hal ini dikarenakan jenis komunikasi konvensional tetap dibutuhkan karena kita perlu komunikasi dengan tempat yang pasti. Media internet walaupun dapat menyampingkan halangan yang ada, namun tetap mempunyai batasan dalam konteks teritorial, khususnya dikarenakan faktor batas negara dan bahasa.

D.Applying Medium theory to New Media

Menurut Rice (1999) tidaklah terlalu menguntungkan jika kita mencoba mengkarakterisasai setiap media sesuai dengan atributnya. Namun sebaliknya kita seharusnya mempelajari bagaimana atribut sebuah media secara umum dan melihat bagaimana sebuah new media “beraksi” di dalamnya.
Beberapa kategori pendekatan dari media baru berdasarkan tipe, kegunaan, context dan content a.l. adalah 1. media komunikasi interpersonal, 2. media permainan interaktif, 3. media pencari informasi (Google) dan 4. media partisipasi kolektif.

E.The Meaning & Measurement of Interactivity

Kiousis (2002) mengatakan bahwa interaktivitas adalah sesuatu yang sering kali disebut saat kita berbicara mengenai bentuk-bentuk media baru, karena itu bisa memiliki arti yang berbeda tergantung dari konteks-nya. Untuk menentukan interaktivitas, Kiousis membaginya menjadi 4 indikator: (1) proximity; (2) sensory activation; (3) perceived speed; (4) telepresence.
Dalam kaitannya dengan teknologi, kita mengenal komputer dan kemudian internet. Menurut Perse & Dunn (1998) komputer bukanlah saluran atau media utama untuk memenuhi semua saluran komunikasi terkait. Beberapa ahli berpendapat bahwa komputer hanya digunakan sebagai alat bekerja dan belum melihatnya sebagai bentuk media baru.
Sementara Lindlof dan Schatzer (1998) menawarkan pandangan baru yang melihat internet dari sudut pandang etnografi pemakainya, yaitu dengan seringnya berkomentar atau berkata-kata dalam berbagai bentuk di internet seperti milis, website, dsb. Dalam pandangan mereka, komunikasi menggunakan internet merupakan bentuk yang berbeda dari bentuk media lainnya karena sifatnya yang tidak permanen, multimodal dan dengan beberapa aturan yang mengikat serta memungkinkan terjadinya manipulasi pengguna dan isinya.

F.New Patterns of Information Traffic

Borderwijk & Van Kaam mengembangkan sebuah model untuk menjelaskan pola arus informasi dengan mendeskripsikan empat pola dasar komunikasi, yaitu 1) Alokasi infomasi, 2) Percakapan, 3) Konsultasi, 4) pendaftaran.
Pencetus dari model pola komunikasi telah menunjukkan bahwa ada 2 variabel yang berperan: pusat versus individu dalam hal pengontrolan informasi dan pusat versus individu dalam hal pengontrolan waktu dan subjek informasi.
Dengan adanya teknologi video dan perekaman suara, pola alokasi di media lama mulai berkembang menjadi konsultasi. Media baru pun dengan cara yang berbeda, berpotensi menggeser pola alokasi menjadi conversation melalui komunikasi interaktif. Secara umum hal ini sebagai implikasi dari pergeseran keseimbangan kekuatan komunikasi dari pengirim kepada penerima informasi. Kesimpulan dari gambaran tersebut menunjukkan bahwa pola-pola arus informasi tidak berbeda secara nyata seperti yang terlihat, dikarenakan subjek overlap dan saling bertemu, baik secara teknologi ataupun alasan sosial.

G.Computer Mediated Community Formation

Dalam pemikiran lampau, komunitas didefinisikan sebagai sekelompok orang yang berbagi tempat (atau ruang gerak lainnya), memiliki satu identitas dan norma tertentu, melakukan praktek-praktek nilai dan budaya yang sama, dan pada umumnya dalam jumlah yang relative kecil sehingga interaksi antar anggotanya dapat terjadi.
Media massa tradisional dipandang memiliki hubungan yang bertentangan dengan komunitas lokal. Di satu sisi, lingkup mereka yang besar dan dimasukkannya nilai-nilai dan budaya luar dianggap dapat merusak interaksi personal dalam komunitas lokal. Di sisi yang lain, dalam mengadaptasi kondisi lokal, media harus mampu memperkuat komunitas tersebut.
H.Virtual Community

Lindlof dan Schatzcr mendefinisikan komunitas virtual sebagai “penemuan oleh orang-orang yang memiliki kepentingan yang serupa, terutama seputar teks yang diadaptas dari hal-hal non-CMC, seperti opera sabun dll.’
Pendukung ide online community umumnya lebih mengakui termin metaphor (Watson, 1997) ketimbang hal yang nyata. Di sisi lain, hal nyata itu sendiri umumnya, ilusif dan bahkan terkadang mistis. Jones (1997:17) mengutip pernyataan Benedict Anderson (1983) bahwa “komunitas dibedakan bukan dari kesalahan atau keasliannya, namun dari cara mereka berimajinasi. Mediasi oleh mesin cenderung untuk mengurangi kesadaran akan keterhubungan dengan orang lain. Bahkan pakar komunitas virtual, seperti Rheingold (1994) menyadari bahwa identitas online terkadang tidak asli. Mereka menciptakan “figur” untuk menutup beberapa aspek identitas, seperti usia atau jender. Partisipasi dalam diskusi-diskusi online dan interaksi terkadang dibuat tanpa nama dan hal ini terkadang justru menjadi ketertarikan tersendiri.

I.Political Participation, New Media & Democracy

Ranah publik (public sphere) adalah tempat berkembangnya wacana-wacana politik, atau dengan kata lain, merupakan tempat rakyat berhubungan dengan pelaku-pelaku politik untuk berdiskusi tentang kepentingan-kepentingan politik.
Pada era media tradisional, ranah publik diisi oleh informasi dari media-media tradisional (koran, televisi, radio). Kelemahannya ada tiga: 1) dominasi media oleh pihak-pihak tertentu 2) dominasi arah penyampaian pesan secara vertikal 3) komersialisasi media kadang membuat proses demokratisasi jadi bias. Tiga masalah itu dipercaya mengganggu proses demokratisasi.
Namun, kehadiran media baru membuat perubahan dalam proses demokratisasi. Ada 6 poin utama peran media baru dalam proses demokratisasi:
1. Mendorong interaktivitas sebagai pengganti one way flow (komunikasi satu arah).
2. Keberadaan pola komunikasi yang tidak hanya vertikal tapi juga horizontal.
3. Disintermediasi.
4. Mengurangi “biaya” yang harus dikeluarkan dalam proses penyampaian pesan-pesan politik.
5. Lebih cepat dibandingkan dengan media tradisional.
6. Ketiadaan penghalang-penghalang dalam penyampaian pesan politik.
J.Technologies of Freedom?

Fakta bahwa pengguna internet dapat berasal dari negara dan belahan dunia manapun menimbulkan kesulitan dalam pemberian sanksi dan penerapan yuridiksi pada konten yang bermasalah. Salah satu solusi untuk permasalahan ini sehingga dapat diminimalisir adalah dengan memberikan ‘tekanan’ kepada penyedia layanan (service providers) untuk bertanggung jawab terhadap konten yang muncul dalam layanan mereka, walaupun hal tersebut muncul diluar kontrol mereka.
Situasi “kebebasan” dalam internet mulai berubah saat deklarasi ‘perang terhadap terorisme’ di tahun 2001 dimulai setelah terjadi aksi terorisme di bulan September tahun tersebut. Pemerintah dan pihak yang memiliki otoritas mulai memberlakukan larangan “kebebasan” dalam dunia maya. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan besar, yang sebenarnya merupakan sebuah ‘normalisasi’ yang juga pernah terjadi pada media komunikasi massa lain sebelumnya.
Hal positif yang sebenarnya perlu diangkat dari konteks ‘kebebasan’ dalam internet adalah arti dari “kebebasan” itu sendiri. Kebebasan dari pengawasan dan ‘hak atas privasi’ merupakan jenis “kebebasan” yang berbeda, serta perlindungan atas anonimitas dan bukan publikasi. Kedua jenis kebebasan ini memiliki arti yang penting, tetapi potensi dan kondisi aktual dari penggunaan internet telah menerjemahkan berbagai macam bentuk “kebebasan” sebagai “kebebasan” yang sesungguhnya.
Menurut Winston (1986), Teknologi terbaru memiliki potensi untuk inovasi, tetapi implementasi aktualnya selalu bergantung kepada dua faktor, yaitu: The operation of ‘supervening social necessity’ dan The ‘law of the suppression of radical pontential’.
New Equalizer or Divider
Manfaat yang sangat besar dari new media adalah siap sedia kapan saja bagi mereka yang ingin “bersuara”. Publik tak harus jadi penguasa yang kaya untuk muncul di laman world wide web. Dengan lahirnya new media, kesenjangan sosial dan transaksi informasi bisa teratasi. Lahirnya new media bagi beberapa kalangan dianggap sebagai bagian dari proses penyebaran informasi tanpa batas dan menyentuh seluruh kalangan sosial.
Beberapa kontroversi bermunculan berkenaan dengan lahirnya teknologi new media (computer technology). Salah satu isunya dihubungkan dengan permasalahan gender. Menurut teori feminis yang dikemukakan oleh Ang dan Hermes, 1991, bahwa komputer itu “diperuntukkan” bagi laki-laki dan bukan untuk wanita. Namun menurut Van Zoonen (2002) dalam risetnya mengatakan bahwa antara gender dan teknologi itu sifatnya terlalu multidimensional.
Saat ini media masa (radio dan televisi) masih dianggap mampu menjembatani kesenjangan dalam bidang sosial dan pengembangan dunia ekonomi. Kelahiran world wide web disebut sebagai komunikasi gaya baru yang mampu mengakomodir kebebasan berpendapat. Dan mampu menjadi suatu kekuatan sosial yang bersifat solid dan militan.

II.CONTOH KASUS

Kampanye “Boikot bayar pajak” oleh Alexander Spinoza
Pada Maret 2010, bertepatan dengan tenggat waktu pelaporan SPPT (pajak) tahun 2010, merebak kasus korupsi Gayus Tambunan, seorang karyawan Depkeu. Ketika itu, Depkeu adalah proyek percontohan kebijakan kenaikan renumerasi PNS sebagai bentuk reformasi birokrasi. Sebagai bentuk kekecewaan, seorang warga biasa (bukan aktivis LSM/partai) menggalang gerakan pembangkangan sosial (social disobidience) untuk memboikot pembayaran pajak.
Ia membuat grup di Facebook yang bernama “Gerakan Facebookers Boikot Pajak Demi Keadilan”. Anggota grup tersebut semakin lama semakin banyak, hingga mencapai ratusan ribu. Wacana boikot bayar pajak pun menjadi populer. Dirjen Pajak, M. Tjiptardjo berkali-kali mengatakan di media massa bahwa boikot bayar pajak adalah tindakan kontraproduktif. Ini membuktikan bahwa seorang rakyat biasa dapat memanfaatkan peran new media sebagai alat demokratisasi.
Meskipun tidak dapat diukur seberapa banyak orang yang benar-benar memboikot bayar pajak, namun pesan dari rakyat biasa tersebut sudah masuk menjadi wacana publik. Hal ini dibuktikan seiring dengan munculnya topik boikot bayar pajak dalam acara debat di televisi maupun menjadi berita.
Kampanye “Gerakan Sejuta Facebookers Dukung Bibit-Chandra”
Kampanye ini digalang oleh seorang dosen di Riau. Dia membuat grup Facebook yang berisi dukungan terhadap Bibit-Chandra. Grup Facebook ini mengakomodasi opini banyak orang, terbukti dari banyaknya dukungan terhadap grup ini. Media kemudian tertarik memberitakan grup ini dan pesan yang dibawanya, sehingga kemudian dukungan mengalir ke Bibit-Chandra.

III. IMPLIKASI TEORITIS

New media sebagai perwujudan public sphere Habermas
O’Baoill (2000) seperti dikutip Theo Rohle (2005) menyatakan bahwa terdapat tiga karakteristik public sphere Habermas, yaitu: universal access, rational debate, dan a disregard of rank. Ketiga hal ini sudah ditunjukkan dalam contoh kasus mengenai Grup Facebook Boikot Bayar Pajak.
Hal ini menunjukkan bahwa new media, dengan berbagai bentuknya (sosial media, blog, media online, milis dan sebagainya), sudah bisa menjadi perwujudan dari public sphere yang dikatakan oleh Habermas.
Disusun dan dipresentasikan oleh Andi Nadia RadinkaArdha Renzulli, Dicky Septriadi, Didin Dimas,Narista Pramandhani, Reney Lendy Mosal, Rizky Rachdian S, Yustian Fadji M (Universitas Indonesia).

Sumber :  1. http://dans007.wordpress.com/2011/12/14/manfaat-dan-kerugian-
                       menggunakan- new-media/.
                   2. http://fahrip.blogspot.com/2010/10/pengertian-new-media-atau-media-
                       baru.html
                   3.  http://elangbudi.wordpress.com/2012/10/23/new-media/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar