Kamis, 27 Oktober 2011

Senang bisa menyisihkan uang saku

Saat masih kelas tiga SD, uang saku yang aku dapat setiap hari sebesar Rp. 500,-. Pengeluaran dari uang tersebut Rp.400,- untuk ongkos pulang pergi dan Rp.100,- untuk jajan. Namun aku sendiri bukan anak yang suka jajan, tiap hari aku menyisihkan Rp.100,- untuk ditabung.

Aku mempunyai teman satu sekolah tapi beda kelas dan kami tinggal satu desa. Kami sering pulang bersama dan suatu saat usai sekolah kami pulang ke rumah dengan jalan kaki, dan jarak tempuhnya 5 KM, dan kami masih murid kelas 3 SD. Kami berjalan kaki karena hari itu hujan turun sangat deras dan kami lelah menunggu angkutan umum yang tak kunjung tiba dan angkutan umum di desa kami masih sangat jarang saat itu. Dan kami pulang ke rumah dengan bermandikan air hujan.

Sampai di rumah, ibuku bertanya dengan cemas kenapa aku baru sampai rumah. Aku pun menjawab dengan jawaban yang mengagetkan ibuku, "Aku senang karena sisa uangku hari ini Rp.300,-. Ya betul, aku memang senang bisa menyisihkan Rp.300,- dari uang saku. Ekspresi ibuku saat itu mungkit terkejut sekali dengan kelakuan anaknya yang masih kecil heheheheheeee..... dan aku senang karena ibu tidak marah.


Dulu saat aku masih kecil, penduduk desa hidup sederhana, mereka bepergian dengan sepeda onthel atau berjalan kaki meskipun jarak tempuhnya tidaklah dekat. Ibuku pun senang berjalan kaki. Saat kami pergi belanja ke kota, sesampai disana ibuku lebih senang berjalan kaki daripada naik becak untuk menuju ke tempat tujuan.

Jumat, 21 Oktober 2011

menghasilkan uang

ketika masih SD hingga SMP, saya membantu ibu menjual makanan. Saya menjual di koperasi sekolah dan ibu membuka warung di tepi jalan. Saya melakukannya dengan senang hati, tidak pernah ada rasa malu di dalam hati untuk berjualan makanan karena banyak cara untuk menghasilkan uang halal. Ibu memang pandai memasak dan masakan ibu digemari banyak orang.

Makanan yang dijualpun beragam mulai dri nasi kuning, berbagai macam sayur dan cemilan seperti risoles. Ibu juga sering mendapat pesanan abnon, dan ketika ibu sibuk di dapur, akupun dengan senang hati membantunya.

dari pengalamankju berjualan selama sD hingga smp, aku mengerti karakter para pesaing, harga makanan dan kualitas masakan. jika kita berjualan makanan kita harus menjaga kualitas rasa, kita tidak boleh mengurangi bumbu sedikitpun. karena lidah konsumen tidak bisa di \bohongi

Jumat, 14 Oktober 2011

Kemiskinan di Daerah Kota

Kita semua menyadari bahwa kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial di Indonesia yang tidak mudah untuk diatasi. Beragam upaya dan program dilakukan untuk mengatasinya tetapi masih banyak kita temui permukiman masyarakat miskin hampir setiap sudut kota. Keluhan yang paling sering disampaikan mengenai permukiman masyarakat miskin tersebut adalah rendahnya kualitas lingkungan yang dianggap sebagai bagian kota yang mesti disingkirkan.
Tulisan ini mencoba untuk memberikan penjelasan tentang upaya untuk mengatasi kemiskinan di perkotaan sekaligus pula untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman masyarakat miskin.

 




Peremajaan Kota
Pendekatan konvensional yang paling populer adalah menggusur permukiman kumuh dan kemudian diganti oleh kegiatan perkotaan lainnya yang dianggap lebih bermartabat. Cara seperti ini yang sering disebut pula sebagai peremajaan kota bukanlah cara yang berkelanjutan untuk menghilangkan kemiskinan dari perkotaan.
Kemiskinan dan kualitas lingkungan yang rendah adalah hal yang mesti dihilangkan tetapi tidak dengan menggusur masyarakat telah bermukim lama di lokasi tersebut. Menggusur adalah hanya sekedar memindahkan kemiskinan dari lokasi lama ke lokasi baru dan kemiskinan tidak berkurang. Bagi orang yang tergusur malahan penggusuran ini akan semakin menyulitkan kehidupan mereka karena mereka mesti beradaptasi dengan lokasi permukimannya yang baru.
Di Amerika Serikat, pendekatan peremajaan kota sering digunakan pada tahun 1950 dan 1960-an. Pada saat itu permukiman-permukiman masyarakat miskin di pusat kota digusur dan diganti dengan kegiatan perkotaan lainnya yang dianggap lebih baik. Peremajaan kota ini menciptakan kondisi fisik perkotaan yang lebih baik tetapi sarat dengan masalah sosial. Kemiskinan hanya berpindah saja dan masyarakat miskin yang tergusur semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan karena akses mereka terhadap pekerjaan semakin sulit.
Peremajaan kota yang dilakukan pada saat itu sering disesali oleh para ahli perkotaan saat ini karena menyebabkan timbulnya masalah sosial seperti kemiskinan perkotaan yang semakin akut, gelandangan dan kriminalitas. Menyadari kesalahan yang dilakukan masa lalu, pada awal tahun 1990-an kota-kota di Amerika Serikat lebih banyak melibatkan masyarakat miskin dalam pembangunan perkotaannya dan tidak lagi menggusur mereka untuk menghilangkan kemiskinan di perkotaan.

Aktivitas Hijau oleh Masyarakat Miskin
Paling sedikit saya menemukan dua masyarakat miskin di Jakarta yang melakukan aktivitas hijau untuk meningkatkan kualitas lingkungan sembari menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat miskin. Seperti dapat ditemui di Indonesia’s Urban Studies, masyarakat di Penjaringan, Jakarta Utara dan masyarakat kampung Toplang di Jakarta Barat mereka mengelola sampah untuk dijadikan kompos dan memilah sampah nonorganik untuk dijual.
Aktivitas hijau di Penjaringan, Jakarta Utara dilakukan melalui program Lingkungan Sehat Masyarakat Mandiri yang diprakarsai oleh Mercy Corps Indonesia. Masyarakat miskin di Penjaringan terlibat aktif tanpa terlalu banyak intervensi dari Mercy Corps Indonesia. Program berjalan dengan baik dan dapat meningkatkan kualitas lingkungan kumuh di Penjaringan. Masyarakat di Penjaringan sangat antusias untuk melakukan kegiatan ini dan mereka yakin untu mampu mendaurlang sampah di lingkungannya dan menjadikannya sebagai lapangan pekerjaan yang juga akan berkontribusi untuk mengentaskan kemiskinan di lingkungannya.
Sementara itu aktivitas hijau di kampung Toplang, Jakarta Barat diprakarsai oleh dua orang pemuda kampung tersebut yang juga adalah aktivis Urban Poor Consortium dan mengetahui bisnis pendaurulangan sampah. Kedua orang ini mampu meyakinkan rekan-rekan di kampungnya untuk melakukan kegiatan daur ulang sampah. Seperti yang terjadi di Penjaringan, masyarakat kampung Toplang mendukung penuh dan antusias terhadap bisnis pendaurulangan sampah ini. Malahan mereka optimis bahwa kegiatan mereka juga dapat mendaurulang sampah dari luar kampung mereka dan menciptakan lebih banyak pendapatan bagi masyarakat kampung Toplang.
Kedua aktivitas hijau tersebut adalah wujud pemberdayaan masyarakat miskin untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman dan sekaligus mengentaskan kemiskinan. Peranan Mercy Corps Indonesia yang memprakarsai program Lingkungan Sehat Masyarakat Mandiri di Penjaringan, Jakarta Utara dan dua orang aktivis pemuda asal kampung Toplang yang memprakarsai aktivitas hijau di kampung Toplang adalah sangat vital dalam upaya pemberdayaan masyarakat ini. Tanpa inisiatif mereka, pemberdayaan masyarakat miskin tidak akan terjadi dan kemiskinan tetaplah menjadi masalah di kedua permukiman kumuh tersebut.

Penutup
Cara untuk mengatasi kemiskinan dan rendahnya kualitas lingkungan permukiman masyarakat miskin adalah tidak dengan menggusurnya. Penggusuran hanyalah menciptakan masalah sosial perkotaan yang semakin akut dan pelik. Penggusuran atau sering diistilahkan sebagai peremajaan kota adalah cara yang tidak berkelanjutan dalam mengatasi kemiskinan.
Aktivitas hijau seperti yang dilakukan oleh masyarakat Penjaringan dan Kampung Toplang merupakan bukti kuat bahwa masyarakat miskin mampu meningkatkan kualitas lingkungan permukiman dan juga mengentaskan kemiskinan. Masyarakat miskin adalah salah satu komponen dalam komunitas perkotaan yang mesti diberdayakan dan bukannya digusur. Solusi yang berkelanjutan untuk mengatasi kemiskinan dan permukiman kumuh di perkotaan adalah pemberdayaan masyarakat miskin dan bukanlah penggusuran.

Jumat, 07 Oktober 2011

Penebangan Hutan

penebangan kayu secara liar (illegal logging) tanpa mengindahkan kaidah-kaidah manajemen hutan untuk menjamin kelestarian sumber daya hutan telah menyebabkan berbagai dampak negatif dalam berbagai aspek, Kerugian akibat penebangan liar memiliki dimensi yang luas tidak saja terhadap masalah ekonomi, tetapi juga terhadap masalah sosial, budaya, politik dan lingkungan.

Dari perspektif ekonomi kegiatan illegal logging telah mengurangi penerimaan devisa negara dan pendapatan negara. Berbagai sumber menyatakan bahwa kerugian negara yang diakibatkan oleh illegal logging , mencapai Rp.30 trilyun per tahun. Permasalahan ekonomi yang muncul akibat penebangan liar bukan saja kerugian finansial akibat hilangnya pohon, tidak terpungutnya DR dan PSDH akan tetapi lebih berdampak pada ekonomi dalam arti luas, seperti hilangnya kesempatan untuk memanfaatkan keragaman produk di masa depan (opprotunity cost). Sebenarnya pendapatan yang diperoleh masyarakat (penebang, penyarad) dari kegiatan penebangan liar adalah sangat kecil karena porsi pendapatan terbesar dipetik oleh para penyandang dana (cukong). Tak hanya itu, illegal logging juga mengakibatkan timbulnya berbagai anomali di sektor kehutanan. Salah satu anomali terburuk sebagai akibat maraknya illegal logging adalah ancaman proses deindustrialisasi sektor kehutanan. Artinya, sektor kehutanan nasional yang secara konseptual bersifat berkelanjutan karena ditopang oleh sumber daya alam yang bersifat terbaharui yang ditulang punggungi oleh aktivitas pengusahaan hutan disektor hulu dan industrialisasi kehutanan di sektor hilir kini tengah berada di ambang kehancuran.

Dari segi sosial budaya dapat dilihat munculnya sikap kurang bertanggung jawab yang dikarenakan adanya perubahan nilai dimana masyarakat pada umumnya sulit untuk membedakan antara yang benar dan salah serta antara baik dan buruk. Hal tersebut disebabkan telah lamanya hukum tidak ditegakkan ataupun kalau ditegakkan, sering hanya menyentuh sasaran yang salah. Perubahan nilai ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk dikembalikan tanpa pengorbanan yang besar.

Kerugian dari segi lingkungan yang paling utama adalah hilangnya sejumlah tertentu pohon sehingga tidak terjaminnya keberadaan hutan yang berakibat pada rusaknya lingkungan, berubahnya iklim mikro, menurunnya produktivitas lahan, erosi dan banjir serta hilangnya keanekaragaman hayati. Kerusakan habitat dan terfragmentasinya hutan dapat menyebabkan kepunahan suatu spesies termasuk fauna langka. Kemampuan tegakan(pohon) pada saat masih hidup dalam menyerap karbondioksida sehingga dapat menghasilkan oksigen yang sangat bermanfaat bagi mahluk hidup lainnya menjadi hilang akibat makin minimnya tegakan yang tersisa karena adanya penebangan liar. Berubahnya struktur dan komposisi vegetasi yang berakibat pada terjadinya perubahan penggunaan lahan yang tadinya mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan juga sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan telah berubah peruntukanya yang berakibat pada berubahnya fungsi kawasan tersebut sehingga kehidupan satwa liar dan tanaman langka lain yang sangat bernilai serta unik sehingga harus jaga kelestariannya menjadi tidak berfungsi lagi. Dampak yang lebih parah lagi adalah kerusakan sumber daya hutan akibat penebangan liar tanpa mengindahkan kaidah manajemen hutan dapat mencapai titik dimana upaya mengembalikannya ke keadaan semula menjadi tidak mungkin lagi (irreversible).


Penebangan liar

Pembalakan liar atau penebangan liar (bahasa Inggris: illegal logging) adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat.
Walaupun angka penebangan liar yang pasti sulit didapatkan karena aktivitasnya yang tidak sah, beberapa sumber tepercaya mengindikasikan bahwa lebih dari setengah semua kegiatan penebangan liar di dunia terjadi di wilayah-wilayah daerah aliran sungai Amazon, Afrika Tengah, Asia Tenggara, Rusia dan beberapa negara-negara Balkan.

Menurut konsep manajemen hutan sebetulnya penebangan adalah salah satu rantai kegiatan yaitu memanen proses biologis dan ekosistem yang telah terakumulasi selama daur hidupnya. Penebangan sangat diharapkan atau jadi tujuan, tetapi harus dicapai dengan rencana dan dampak negatif seminimal mungkin (reduced impact logging). Penebangan dapat dilakukan oleh siapa saja asal mengikuti kriteria pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management), tetapi kegiatan penebangan liar (illegal logging) bukan dalam kerangka konsep manajemen hutan.
Penebangan liar dapat didefinisikan sebagai tindakan menebang kayu dengan melanggar peraturan kehutanan. Tindakan ini adalah sebuah kejahatan yang mencakup kegiatan seperti menebang kayu di area yang dilindungi, area konservasi dan taman nasional, serta menebang kayu tanpa ijin yang tepat di hutan-hutan produksi.

Mengangkut dan memperdagangkan kayu illegal dan produk kayu illegal juga dianggap sebagai kejahatan kehutanan. Dimana kayu yang dianggap legal adalah kayu yang bersumber dari :

• HPH (konsesi untuk kayu di hutan produksi dengan ijin dari Dephut);

• HTI di hutan produksi (ijin konsesi hutan tanaman oleh Dephut);

• IPK HTI dengan stok tebangan < 20 m³ (ijin tebangan oleh Pemprov mewakili pemerintah pusat);

• IPK Kebun (ijin tebangan oleh Pemprov mewakili pemerintah pusat);

• Hutan rakyat (di luar kawasan hutan);

• Ijin Bupati untuk pelaksanaan penebangan di luar batas kawasan hutan, untuk industri dan/atau masyarakat adat;

• Hutan kemasyarakatan (HKm) (ijin hutan rakyat di hutan produksi di keluarkan oleh Dephut);

• HPH kecil (ijin 5000 ha kayu hutan alam berlaku untuk 25 tahun, dikeluarkan oleh Bupati antara 27 Januari 1999 dan 8 Juni 2002) jika potensi kayunya masih ada;

• KDTI (dikeluarkan oleh Dephut kepada Masyarakat Adat Pesisir, Krui, Lampung Barat);

• Konsesi Kopermas yang disahkan oleh Menteri Kehutanan dan atau dikeluarkan antara 27 Januari 1999 dan 8 Juni 2002;

• Impor yang sah;

• Lelang yang sah (Petunjuk yang jelas harus disusun untuk mengidentifikasi pelelangan yang sah, untuk menghindari permainan pengesahan kayu ilegal).
Sedangkan kayu yang ilegal adalah kayunya berasal dari :

• Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung;

• Ijin Bupati di dalam kawasan hutan (misalnya IPKTM, HPHH, IPPK) yang diterbitkan setelah 8 Juni 2002;

• IPK HTI dengan stok tebangan >20m3;

• Konsensi Kopermas yang dikeluarkan oleh Pemrerintah Daerah setelah Desember 2004.

AKTOR DAN POLA ILLEGAL LOGGING

Banyak pihak yang terlibat dalam kegiatan illegal logging, jika pelakunya hanya masyarakat sekitar hutan yang miskin tentu saja tindakan ini dengan mudahnya dapat dihentikan oleh aparat kepolisian. Dari hasil identifikasi aktor pelaku illegal logging, terdapat 6 (enam) aktor utama, yaitu :

1) Cukong

Cukong yaitu pemilik modal yang membiayai kegiatan penebangan liar dan yang memperoleh keuntungan besar dari hasil penebangan liar. Di beberapa daerah dilaporkan bahwa para cukong terdiri dari : anggota MPR, anggota DPR, pejabat pemerintah (termasuk para pensiunan pejabat), para pengusaha kehutanan, Oknum TNI dan POLRI.

2) Sebagian masyarakat

Khususnya yang tinggal di sekitar kawasan hutan maupun yang didatangkan, sebagai pelaku penebangan liar (penebang, penyarad, pengangkut kayu curian)

3) Sebagian pemilik pabrik pengolahan kayu (industri perkayuan), skala besar, sedang dan kecil : sebagai pembeli kayu curian (penadah)

4) Oknum pegawai pemerintah (khususnya dari instansi kehutanan) yang melakukan KKN ; memanipulasi dokumen SAKB (SKSHH) ; tidak melaksanakan tugas pemeriksaan sebagaimana mestinya

5) Oknum penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, TNI) yang bisa dibeli dengan uang sehingga para aktor pelaku penebangan liar, khususnya para cukong dan penadah kayu curian dapat terus lolos (dengan mudah) dari hukuman (praktek KKN). Oknum TNI dan POLRI turut terlibat, termasuk ada yang mengawal pengangkutan kayu curian di jalan-jalan kabupaten/propinsi

6) Pengusaha asing : penyelundupan kayu hasil curian ke Malaysia, Cina, dll.


Perkembangan dalam menghadapi masalah lingkungan hidup pada sektor kehutanan yaitu penebangan liar atau dikenal dengan illegal logging. Selama dekade terakhir ini semakin banyak terjadi penebangan liar (iIlegal logging), bila dibiarkan akan menimbulkan kemorosatan lingkungan hidup yang berlangsung terus-menerus pada akhirnya membawa implikasi pada kerugian ekonomi yang luar biasa parah disektor kehutanan.
Brow (1993) menegaskan bahwa kerugian ekonomi pada rusaknya ligkungan hidup yang paling menonjol adalah penggundulan liar (Ilegal logging), sedang menurut Sptephe Deveni dari Forest law Enforcemen Governance and trade (FLEGT) mengatakan bahwa illegal logging adalah penyebab utama kerusakan hutan di Indonesia dan menjadi masalah serius di dunia.
Penebangan liar (Illegal logging) telah menimbulkan masalah multidimensi yang berhubungan dengan aspek ekonomi, sosial , budaya lingkungan.

Hal ini merupakan konskwensi logis dari fungsi hutan yang pada hakekatnya adalah sebuah ekosistem yang di dalamnya mengandung fungsi dasar, yaitu fungsi produksi (ekonomi), fungsi lingkungan (ekologi), serta fungsi sosial.
Dilihat dari aspek sosial, penebangan liar (illegal logging) menimbulkan konflik seperti konflik hak atas tanah, konflik kewenangan mengelola hutan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta masyarakat setempat. Aspek budaya kegantungan masyarkat terhadap hutan, penghormatan terhadap hutan yang masih dianggap nilai magic juga ikut terpangaruh oleh praktek-praktek illegal logging yang pada akhirnya merubah perspektip dan prilaku masyarakat adat setempat terhadap hutan.

Dampak kerusakan ekologi (lingkungan) akibat penebangan liar (illegal logging) bagi lingkungan dan hutan adalah bencana alam, kerusakan flora dan fauna dan punahnya spesias langka. Prinsip pelestraian hutan sebagaiman di indikasikan oleh ketiga fungsi pokok tersebut, merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu pemanfatan dan pelastarian sumber daya hutan perlu dilakukan melalui suatu sistem pengelolaan yang dapat menjaga serta meningkatkan fungsi dan perananya bagi kepentingan generasi masa kini maupun generasi dimasa yang mendatang.

Banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi aktivitas illegal logging. Yang terbaru dengan dikeluarkan Surat edaran Nomor 01 Tahun 2008 tentang petunjuk Penanganan Perkara Tindak pidana Kehutanan dan sebelumnya Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara illegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Indonesia merupakan payung hukum dalam pemberantasan penebangan liar (illegal logging) yang diharapakan kelangsungan hutan di Indonesia dapat terselamatkan dan hal sampai keakar-akarnya.

Namun demikian illegal logging semakin marak dan hutan semakin mengalami tingkat kerusakan yang mengkwatirkan, termasuk di Kaltim. Perspektip pengelolahan hutan Indonesia, semuanya bermuara pada maraknya kegiatan penebangan tanpa izin, penebangan liar (illegal logging) yang berdampak negatif terhadap fungsi lindung terhadap konservasi hutan.
Beberapa kebijakan pemerintah di bidang kehutanan baik secara nasional maupun internasional dalam rangka penanggulangan kejahatan penebangan liar (Illegal logging) dikeluarkan sejak tahun 2001 tentang pemberantasan Penebangan Kayu secara illegal di kawasan hutan dan peredarannya si seluruh wilayah Indonesia.